Apakah Rescuer Harus Terlihat Hidup Miskin dan Susah?

Halo! Akhirnya kembali lagi ke blog ini setelah sekian lama. Tolong dukung dan bantu sebar, ya kalau dirasa informasi yang aku bagikan di sini bermanfaat!

Kali ini lagi-lagi aku mau bahas soal rescuer dan fenomenanya di Indonesia. Soal rescuer ini sebetulnya sudah aku bahas panjang kali lebar sampai ada 10 part di blog ini. Nah, buat yang belum pernah baca dan mau keep up, boleh liat di sini:

PART 1: https://jbscat.wordpress.com/2017/11/16/soal-rescue-bagian-i-upload-kemudian-tinggal/

PART 2: https://jbscat.wordpress.com/2017/11/23/soal-rescue-bagian-ii-upload-bantu-donasi/

PART 3: https://jbscat.wordpress.com/2017/11/30/soal-rescue-nomor-iii-angkut-lempar-shelter/

PART 4: https://jbscat.wordpress.com/2017/12/07/soal-rescue-bagian-iv-angkut-upload-depresi/

PART 5: https://jbscat.wordpress.com/2017/12/21/soal-rescue-bagian-v-angkut-asuh-donasi/

PART 6: https://jbscat.wordpress.com/2018/01/06/soal-rescue-bagian-vi-angkut-rawat-bayar/

PART 7: https://jbscat.wordpress.com/2018/01/25/soal-rescue-bagian-vii-angkut-foster-bayar-bukan-hoarder/

PART 8: https://jbscat.wordpress.com/2018/02/09/soal-rescue-bagian-viii-angkut-adopsi-donasi/

PART 9: https://jbscat.wordpress.com/2018/11/18/soal-rescue-bagian-ix-adopsi-tapi-tetap-donasi/

PART 10: https://jbscat.wordpress.com/2019/05/01/soal-rescue-bagian-x-rescue-adopsi-bayar-sendiri/

Sebetulnya soal postingan hari ini udah aku post di Instagram @jbscat beberapa minggu lalu dalam bentuk microblog. Tapi karena belum masuk ke sini, aku putuskan coba di-up di sini juga aja kali, ya. Ide konten dan pembahasan ini datang dari beberapa hal yang aku perhatikan terjadi di beberapa rescuer yang muncul akibat dari kegiatan opdon alias open donation. Fenomena open donasi memang sudah jadi hal yang biasa di dunia rescue. Dari kebiasaan “meminta” tersebut, lahirlah sebuah pandangan bahwa seseorang yang berkecimpung di dunia menolong hewan haruslah hidupnya susah secara finansial. Apa betul?

Karena kejadian di beberapa oknum, ada yang bahkan sampai berbohong soal kondisi finansialnya yang sebenarnya. Mereka “memiskinkan” dirinya sendiri, seakan-akan hidupnya sangat susah, menderita, makan hanya mi instan saja sehari-hari. Padahal situasi aslinya, mereka masih dihidupi oleh orang tuanya sehingga segala kebutuhan hari-harinya sudah tercukupi. Ada juga yang memang tidak seberuntung itu, tapi di usianya yang masih produktif justru enggan untuk bekerja sehingga mereka menumpang hidup dari hewan-hewan dengan cara membuka donasi. Agar para calon donatur semakin iba dan tersenggol rasa belas kasihannya, maka mereka membuka donasi sembari memperlihatkan betapa sulitnya hidup mereka bahkan untuk membeli makan sehari-hari saja tidak bisa.

Perlu dicatat, ya kalau aku hanya menunjuk pada oknum-oknum yang tidak jujur dan memanfaatkan. Jika rescuer favorit kalian atau kalian sendiri jujur, tulus, dan terbuka, tidak perlu tersinggung. Jadikan saja pembahasan kali ini sebagai informasi baru sebagai pengingat agar kita bisa terus menjaga pihak-pihak yang memang benar-benar tulus dan jujur.

Punya hati untuk menolong itu baik. Makanya banyak orang mendukung niatan baik orang lain dan bersedia membantu agar niatan tersebut terwujud. Betul adanya untuk menyelamatkan nyawa, seringkali dibutuhkan banyak dukungan dan bantuan hingga akhirnya bisa tertolong dengan baik dan layak. Saya sendiri sudah terjun di dunia rescue sejak 2012 dan baru akhirnya mendokumentasikannya di 2014/2015. Dari masa tersebut, pertumbuhan rescuer yang main sosmed di Indonesia jelas bertambah pesat. Dari yang orangnya itu-itu saja, sekarang saya sampai sudah tidak tahu siapa dan yang mana.

Tidak sedikit yang mundur dan berhenti. Beberapa dari mereka orang yang tulus tapi sudah terlalu lelah, tapi ada juga yang licik dan ketahuan hingga akhirnya memutuskan hiatus dahulu. Mau tidak mau dunia rescue erat kaitannya dengan persoalan dana dan finansial. Banyak yang merasa bahwa membuka donasi itu uang gampang. Tinggal minta, nanti banyak yang beri. Terutama kalau urusannya dengan hewan atau anak-anak atau orang tua yang sakit. Banyak hati jadi iba, ya sudah sekadar 100ribu tidak masalah. Satu orang, dua orang, sampai akhirnya 1000 orang. Terkumpulah 100juta. Jumlah yang banyak, bukan? Bisa beli mobil second tuh.

Demi semakin terlihat kasihan di mata netizen, tidak sedikit orang-orang yang terbiasa meminta tolong ini akhirnya memiskinkan diri. Menampilkan hidup yang susah. Seakan kehidupannya adalah tragedi, begitu sulit, begitu rendah, tapi dia masih punya hati untuk yang dirasa lebih sulit. Sebuah kisah drama yang disukai orang-orang. Orang baik yang terinjak kehidupan. Mendorong kita untuk ingin segera membantu. Bahkan untuk sekadar beli kopi atau satu sachet makanan basah saja.

Dari fenomena tersebut, muncullah pertanyaan utama di benak:

HARUSKAH ORANG BAIK HIDUPNYA SUSAH DULU UNTUK MENDAPAT BANTUAN?

Karena seperti yang kita tahu, kenyataannya enggak semua orang yang punya hati dan niat untuk melakukan suatu perubahan pasti punya kapasitas yang berlebih untuk bisa mewujudkannya sendirian. Ada yang punya tenaga dan waktu tapi tidak cukup biaya, ada yang punya biaya tapi tidak punya energi serta waktu. Dengan adanya platform media sosial maupun wadah penggalangan dana sebetulnya membantu agar kedua belah pihak tersebut bisa bertemu untuk berkolaborasi sehingga perubahan yang diinginkan bisa mulai dikerjakan. Tapi di mana saja pasti ada saja oknum yang berusaha mencari celah memanfaatkan untuk keuntungannya pribadi.

Beberapa waktu lalu seorang artis jatuh sakit parah, isterinya membuka donasi untuk membayar tagihannya. Banyak netizen protes karena seharusnya hanya orang tidak mampu yang meminta donasi. Dalam hal konteks, saya setuju. Karena menurut saya, ketika kita meminta bantuan untuk kepentingan pribadi, harapannya adalah sudah ada usaha mati-matian yang dimaksimalkan dahulu. Ketika usaha itu belumlah cukup, barulah ada opsi untuk meminta bantuan.

Tapi dalam konteks rescue, menurut saya justru ketika orang tersebut untuk hidup sendiri saja sudah susah. Bahkan untuk beli kopi saja harus meminta, makan saja harus mi instan melulu, bayar tagihan bulanan saja bikin sesak napas, lebih baik tolonglah dirimu sendiri dahulu. Niat baik hanya akan menjadi baik ketika dirimu sudah siap secara fisik, mental, bahkan finansial. Cari pekerjaan, sambil kerja, bisa sambil membantu sebisanya. Ada opsi fostering, donasi, volunteer, TNR, bahkan streetfeeding yang tidak akan menguras sebanyak rescue.

Diskusi ini hadir sebagai pengingat dan pemantik cara pandang baru. Bahwa tidak apa seorang rescue hidup nyaman. Hannah Shaw hidupnya tidak jadi gembel di Amerika. Kenapa kita di sini harus luntang lantung? Saya bekerja, saya membiayai kehidupan saya dan anabul adopsi saya semua sendiri. Tapi saya membuka donasi untuk kucing-kucing di luar adopsi saya. Karena saya tahu untuk menolong lebih banyak lagi, saya enggak bisa sendirian saja. Meminta bantuan itu perlu keberanian. Tapi ya jangan bablas juga.

Sebagai penutup, mengingatkan juga untuk kalian orang-orang baik yang hatinya mudah tersentuh. Banyak yang sudah paham bagaimana cara memanipulasi perasaan untuk mendapatkan yang diinginkan. Mereka memasang gambaran sedemikian rupa di media sosial agar terlihat kesusahan. Bukannya tidak boleh kalau mau menolong, tapi alangkah lebih bijak jika sebelum transfer atau kirim-kirim, dipikir ulang satu dua kali. Supaya bantuan kita jadi lebih berkah dan tepat sasaran. Jangan sampai niat baik bantu, eh malah dipakainya buat hedon pacaran dan shopping. Nasib hewannya? Enggak ada yang tahu.

Yang mau memberikan tambahan, boleh ya tulis di kolom komentar. No salty dan no hate comment, ya.

Leave a comment